Tuesday, April 5, 2011

Ekspedisi Kopassus-Jawa Pos di Gunung Singgalang

16 Tahun Hilang, Burung Itu Muncul lagi

Peluh Sersan Satu Wahyudi menyembur seperti mata air. Seragam loreng yang membungkus tubuhnya terlihat mulai lembab. Tapi, Wahyudi sama sekali tidak tertarik untuk mengganti seragam berlogo Komando Pasukan Khusus alias Kopassus tersebut.

Alih-alih mengganti seragamnya, Wahyudi yang tercatat sebagai pemegang nomor register prajurit  21060241570386 21040135330983 ini, malah bertambah semangat memasang perangkap burung di Gunung Singgalang.

Perangkap dipasang Wahyudi bersama Ali, Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Andalas Padang, Rabu (23/3) lalu. Mereka memasang perangkap pada sejumlah pohon yang tumbuh di koordinat 4683-5707 Gunung Singgalang atau sekitar 2.140 meter dari permukaan laut.

Sebelum perangkap burung dipasang, Wahyudi yang mendaki gunung bersama 8 prajurit TNI plus mahasiswa Unand dan ITB, sempat mendengar suara aneh seperti siulan. Awalnya, suara yang didengar sembilan anggota Tim Ekspedisi Bukit Barisan  2011 dari Unit Flora-Fauna ini, sayup-sayup sampai di telinga. Tapi lambat laun, bunyinya malah semakin membahana.

”Siiiiiitttt, Siiiiiit, Siiiiit, begitu suara yang kami dengar. Persis seperti orang sedang bersiul,” cerita Wahyudi kepada Kordinator Ekspedisi Bukit Barisan Wilayah Sumbar Mayor Inf Benny Rahadian Chaniago dan wartawan Padang Ekspres yang mengikuti ekspedisi, Sabtu (2/4) lalu.

Setelah mendengar suara seperti siulan tersebut, anggota Unit Flora-Fauna dari Unand dan ITB berbisik kepada Wahyudi. Mereka menyebut, suara yang didengar tadi adalah kicauan seekor burung endemik pulau Sumatera. Makanya, tanpa menunggu lama, Wahyudi langsung mengajak Ali memasang perangkap burung.

Perangkap mereka pasang bukan untuk mencelakai burung. Bukan pula untuk menangkap atau menjual secara bebas. Tapi semata-mata memastikan spesies burung yang berkicau. Sayang, menangkap burung di alam bebas bukanlah pekerjaan gampang.

Empat hari Wahyudi bersama anggota tim ekspedisi memasang perangkap, tak seekor pun burung berhasil ditangkap. Alhasil, Minggu (27/3) lalu, sekitar pukul 08.00 WIB, mereka memutuskan bertolak menuju puncak Gunung Singgalang.

Ditemani hangatnya cahaya mentari, perjalanan tim ekspedisi terasa menentramkan hati. Apalagi dari ketinggian, mereka bisa menyaksikan Kota Bukittinggi. Meski hanya dua pertiga wilayah yang terlihat secara jelas, karena sisanya tertutup kabut, tapi batin mereka puas. Kepuasan itu semakin bertambah manakala di puncak Gunung Singgalang, tim ekspedisi menemukan Telaga Dewi. Telaga yang selalu mengimbau-imbau pendaki kembali lagi. Konon ceritanya telaga ini tidak pernah dimasuki selembar pun daun-daun kayu.


Di dasar Telaga Dewi itu tim ekspedisi melihat sepasang ikan emas tengah bermesraan. Ekor ikan-ikan itu seperti menyuguhkan tarian selamat datang di puncak Singgalang. Sayang, tim tidak bisa berlama-lama menyaksikan indahnya mahakarya Tuhan. Sebab dari kejauhan, kicauan burung seperti siulan manusia kembali terdengar.

Agar kicauan merdu itu tidak hilang lagi, tim memilih turun gunung melihat perangkap yang sudah empat hari dipasang. Ternyata, seekor burung berbulu hitam dan biru mengkilap sudah masuk perangkap. Burung berukuran sekitar 25-28 centimeter itu terlihat gelisah sekali. Tiap sebentar mulutnya yang runcing mengeluarkan bunyi: Siiiiiitttt, Siiiiiit, Siiiiit.

Melihat burung yang diintai sudah ketangkap, Unit Flora-Fauna senang tak terkira. Mereka berniat membawa langsung burung itu menuju posko Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 di kawasan Balingka, Kabupaten Agam. Tapi, karena senja sudah datang ditambah kondisi cuara buruk, mereka memilih bertahan satu malam lagi di Gunung Singgalang.


Esok harinya atau Senin (28/3), tim Unit Flora-Fauna sampai juga di Posko Ekspedisi Bukit Barisan. Berbekal buku referensi tentang fauna mereka, akhinya meyakini burung yang tertangkap itu bernama Ciung-Mungkal Sumatera alias Cochoa Beccani Salvadori 1879.

Prediksi ini dikuatkan analisa sementara Dr Wilson, pakar fauna dari Fakultas MIPA Unand. Menurut Wilson yang merangkap sebagai Ketua Tim Ahli Fauna Ekspedisi Sumbar, burung Ciung-Mungkal Sumatera adalah burung tergolong sangat langka. Burung tersebut mempunyai bentuk unik dan dapat mengeluarkan siulan-siulan khas.

”Terakhir kali, suara burung Ciung-Mungkal Sumatera didengar tahun 1995 oleh seorang peneliti Jerman bernama Simpson. Itu pun hanya berupa siulan burung dan penglihatan sekilas ketika burung terbang di Gunung Kerinci. Sedangkan fisik secara dekat, Simpson tak pernah melihatnya,” begitu analisa Wilson.

Masih menurut Wilson, sejak tahun 1995 sampai awal tahun 2011 para peneliti maupun masyarakat tidak pernah mendengar lagi kicauan Ciung-Mungkal Sumatera. Apalagi sampai melihat burung itu terbang di atas angkasa. Makanya, Wilson meyakini penemuan burung yang menghilang selama hampir 16 tahun tersebut merupakan sebuah sejarah baru.

”Kita memperkirakan, burung Ciung-Mungkal Sumatera tergolong sangat langka, tertangkap ketika sedang melewati proses hijrah dari satu pulau ke pulau lainnya. Kendati demikian, ini akan terus kita teliti,” ungkap Wilson.

Bukan cuma Burung
Selain menemukan burung Ciung-Mungka Sumatera, Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 yang terdiri dari personel Kopassus, Raider, Taipur, Wanadri, akademisi, TV One dan Jawa Pos (grup Padang Ekspres) juga menemukan sejumlah flora dan fauna unik di Gunung Singgalang. Di antara yang ditemukan itu adalah Begonia Hirtellia (tumbuhan herba berukuran kecil yang daunnya dapat dimakan), Begonia Multangula (tumbuhan herba memiliki batang bertubuh halus), Bulbophyillium SP (sejenis anggrek tropis yang langka).

Tidak itu saja, menurut Mayor Inf Benny Rahadian Chaniago yang memimpin ekspedisi di Gunung Singgalang, pihaknya juga menemukan flora-fauna unik lainnya. ”Mulai dari Macodes Jamaica, Macodes Petola, Melastoma Velutinosum, Melhotoria Marginata, Nepenthes Singalana, Nephelium Tenuifolium, Paphiopedilum, Spathoglottis, Urophyllum, sampai Abroscopus Superciliaris atau sejenis burung berbulu kekuningan,” ujar Benny, putra Pariaman.

Terkait air terjun yang ditemukan di Gunung Singgalang, tim ekspedisi sempat menjajal kederasan air, dengan cara turun dari puncaknya menggunakan seutas tali. Aksi ini benar-benar menciutkan nyali. Tapi anggota Kopasus, Raider, dan Taipur Kostrad sama sekali tidak takut. Mereka benar-benar layak disebut sebagai pasukan elite TNI Angkatan Darat!

Edi, anggota Kopassus yang ditemui Padang Ekspres, Minggu (3/4) siang, mengaku sempat terkejut, karena berpapasan dengan beruang berekor panjang. ”Seumur-umur baru kali itu saya lihat ada beruang punya ekor panjang. Sayang, hewan itu tidak boleh ditangkap. Kami hanya bisa mengabadikan dengan kamera. Itu pun tidak jelas hasilnya, karena resolusi kamera kurang bagus. Walaupun demikian, setelah melihat beruang tersebut, saya semakin takjub dengan keistimewaan Gunung Singgalang. Banyak flora dan fauna unik di sini,” ujar Edi, didampingi Unit Humas Tim Ekspedisi, Supriyadi.

Hanya saja, rasa takjub yang disimpan Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 di Gunung Singgalang bercampur pula dengan selaksa kerisauan. Ya, tim memang sangat risau melihat kondisi hutan lindung dan hutan suaka di Gunung Singgalang. Kedua hutan itu, semakin gundul akibat penebangan liar. Beberapa kawasan juga terkelupas dan siap mendatangkan bencana alam. ”Pokoknya, benar-benar memprihatinkanlah,” kata Supriyadi, anggota Kopassus kelahiran Medan, Sumatera Utara.

Walau begitu, tim ekspedisi yang baru satu bulan menginjakkan kaki di Gunung Singgalang tidak patah semangat. Sampai batas akhir ekspedisi Agustus 2011 mendatang, mereka bertekad menjelajahi jengkal demi jengkal gunung yang bertetangga dengan Merapi dan Tandikek tersebut. Sekaligus, menggugah kesadaran masyarakat sekitar gunung, agar sama-sama menjaga ekosistem dan keseimbangan alam. (Fajar Rillah Vesky)

Sumber: Padang Ekspres

No comments: