Obama, dari Hawaii, Indonesia, Kenya, hingga menjadi Presiden AS pertama yang berkulit hitam."Saya
 dan kakak saya ingat dengan sangat jelas bahwa dia menyebut ayahnya 
seorang raja Indonesia dan bahwa ia adalah seorang pangeran, dan setelah
 dia selesai sekolah dia akan kembali, dan ia akan menjadi penguasa di 
Indonesia."
Kristen Caldwell, seorang wanita yang mengaku 
dibesarkan pada masa yang sama dengan Presiden Barack Obama, dan pernah 
menjadi teman sekelasnya di Punahou School, Honolulu, Hawaii mengatakan 
hal itu dalam wawancara di acara Frontline pada stasiun televisi milik 
pemerintah Amerika Serikat, PBS, pada 27 Juni lalu.
Barry Obama, 
begitu teman-temannya di sekolah itu mengenalnya, tinggal di Hawaii 
sampai berusia enam tahun. Lalu pindah ke Indonesia dari 6 hingga usia 
10, untuk pulang lagi ke Hawaii setelah itu.
Obama kembali ke sekolah itu hinga lulus SMA pada 1979.
"Itu
 adalah kampus yang indah di Manoa. Letaknya di bukit...Anda tidak bisa 
pergi ke Punahou jika Anda tidak cerdas dan tidak memiliki banyak 
kemampuan," kata Caldwell.
Itu semua bermula pada 1960, di Hawaii,
 di mana orang tua ibunya, Stanley dan Madelyn Dunham, siap untuk 
menikahkan putri mereka dengan seorang mahasiswa Afrika, yang ditemuinya
 di kelas bahasa Rusia.
Barack (yang berarti "diberkati"), adalah 
seorang Luo dari desa kecil Nyang'oma Kogelo dekat Danau Victoria, 
Kenya. Jika Dunhams resah oleh pernikahan Barack Sr dan putri mereka 
yang baru berusia 18 tahun itu, Stanley Ann, maka keluarga Obama di 
Afrika sangat marah karen kemungkinan darah mereka yang "dinodai oleh 
seorang wanita kulit putih.
Pada tahun 1961, pernikahan singkat 
itu menghasilkan anak, juga bernama Barack. Tapi si ayah segera 
meninggalkan keluarga muda itu untuk kuliah di Universitas Harvard, dan 
kemudian kembali ke Afrika. Anak laki-lakinya itu akan melihat ayahnya 
hanya sekali lagi, ketika ia berusia 10.
Barack Sr memiliki hidup 
baru, istri dan anak-anak, kembali di Kenya serta masalah, termasuk 
depresi dan alkohol, yang mengikuti konflik politik yang membalik 
karirnya sebagai seorang ekonom senior pemerintah. Satu kecelakaan mobil
 melumpuhkan diikuti oleh yang lain, kali ini berakibat fatal, hidupnya 
yang singkat berakhir di Nairobi pada usia 46, pada 1982.
Setelah 
menceraikan Barack Sr, Ann menikah lagi dengan seorang mahasiswa asing 
lainnya, Lolo Soetoro dari Indonesia, yang kuliah di University of 
Hawaii. 
Setelah visa pelajar Soetoro dicabut, keluarganya pindah ke Jakarta, di mana Ann melahirkan Maya, adik tiri Barry.
Tapi
 keluarga ini juga retak, dan Ann kembali ke Hawaii untuk berada di 
dekat orang tuanya. Melalui bosnya, kakek Barack mengatur baginya untuk 
masuk kelas lima di Punahou, sebuah sekolah persiapan elit yang 
didirikan oleh misionaris. 
Persinggahan Barack di sekolah ini, di
 mana ada orang kulit hitam lainnya, memberi landasan yang akan 
membantunya ketika kelak Barry di Columbia University dan Harvard Law 
School. Barry terkenal di sana karena unggul di lapangan basket, dengan 
tembakan melompat yang membuatnya mendapatkan julukan "Barry O'Bomber." 
Ketika
 ibunya kembali ke Indonesia untuk melakukan pekerjaan lapangan untuk 
gelar nya, Obama tetap bersama kakek-neneknya untuk menyelesaikan 
studinya di Punahou.
Itu masa dimana Barack memulai kebiasaan 
menghilang di balik pintu kamar tidurnya untuk membaca selama 
berjam-jam, ditutup dengan buku karya Richard Wright, James Baldwin dan 
Malcolm X.
"Di sana saya akan duduk dan bergulat dengan kata, 
tiba-tiba terkunci dalam argumen yang membuat putus asa, mencoba untuk 
mendamaikan dunia seperti aku akan menemukannya dengan alasan kelahiran 
saya, " kata Obama dalam bukunya, "Dreams From My Father."
Pada 
1985, Gerald Kellman, organisator komunitas di Side, Chicago, 
mewawancarai seorang pelamar muda yang lalu digajinya US$10 ribu per 
bulan.
Obama mulai bertugas tiga tahun sebagai organizer akar rumput dalam proyek-proyek gereja di Chicago.
Ini
 adalah periode yang sangat menonjol dalam "Dreams From My Father," di 
mana Obama menceritakan rasa frustrasi dan keberhasilannya, serta 
belajar keterampilan politik yang dibutuhkan untuk menengahi kemarahan 
rakyat miskin kota. Dalam buku itu dia jelas menceritakan kekecewaannya 
dengan dirinya sendiri ketika ia tidak mampu mengendalikan sekelompok 
warga yang marah mendidih pada pertemuan yang tegang dengan pejabat 
kota. Tapi pekerjaan itu, tulis Obama, adalah "pendidikan terbaik yang 
pernah saya miliki, lebih baik daripada apa yang aku dapatkan di Harvard
 Law School."
Di jalan-jalan South Side Chicago, Obama datang untuk berdamai akarnya sebagai orang hitam Amerika.
Begitu lulus dari Harvard Law School, Obama pergi ke Kenya, mencari akar ayahnya.
Dia bertemu saudara-saudara tirinya, menjalin hubungan baru dengan keluarga ayahnya, termasuk neneknya, Sarah.
Sewaktu di Harvard, Obama terlihat lebih tua daripada mahasiswa tahun pertama lainnya.
Pada
 akhir tahun itu, dia memenangkan kursi yang didambakan banyak orang: 
menjadi salah satu dari sekitar 80 editor dari jurnal hukum ternama, 
paling berpengaruh di negeri ini, Harvard Law Review.
Musim panas 
itu, Obama mulai bekerja sebagai pegawai di firma hukum Sidley & 
Austin, Chicago, di mana ia bertemu dan jatuh cinta dengan yang lain 
lulusan hukum Harvard juga, Michelle Robinson. Mereka terus pacaran 
jarak jauh.
Tahun berikutnya, pada Februari 1990, setelah rapat sepanjang 17 jam, Obama memenangkan kursi kepresidenan jurnal hukum tadi.
Obama
 kadang-kadang bercanda bahwa presiden Harvard Law Review adalah kantor 
kedua yang tersulit di negara itu untuk dimenangi. Dia adalah orang 
hitam pertama yang terpilih dalam 104 tahun sejarah jurnal itu. Dan 
pemilihannya membuat Obama menjadi selebrita dadakan, termasuk ditulis 
profilnya di The New York Times.
Dari Harvard ia kembali ke 
Chicago, di mana dia bekerja pada kantor pendaftaran pemilih Partai 
Demokrat, lalu mulai bekerja di sebuah firma hukum kecil yang 
mengkhususkan diri dalam kasus-kasus hak-hak sipil. Dia juga engajar di 
Sekolah Hukum Universitas Chicago. 
Pada 1992, ia dan Michelle menikah.
Pada
 1992 itu juga , Obama memimpin kantor itu membantu terpilihnya Carol 
Moseley Braun, seorang Demokrat dan wanita Afrika-Amerika pertama di 
Senat AS. 
Pada 1995, Obama memulai pencalonannya untuk Senat 
Illinois di hotel Taman Hyde, tempat di mana Harold Washington, walikota
 kulit hitam pertama di kota itu, telah mengumumkan pencalonannya.
Dia tidak cocok dengan profil politisi hitam yang khas.
Satu
 hal, dia tidak tumbuh dalam tradisi gereja kulit hitam Amerika dan ia 
lebih muda dari generasi pemimpin hak-hak sipil. Obama berkembang di 
lembaga "putih" dengan gaya yang lebih mendamaikan daripada 
konfrontatif, seorang teknokrat daripada seorang pengkhotbah. 
Dan
 seperti anggota lain dari kelas baru pemimpin politik hitam, ia 
cenderung berbicara tidak langsung tentang ras. Atau tidak berbicara 
soal itu sama sekali.
Dalam keadaan di mana mesin Demokrat masih didominasi politik lokal, ia adalah seorang progresif independen. 
Dan pada 1999, ia membuat langkah politik yang langka.
Meskipun
 diperingatkan teman-temannya, ia memutuskan untuk menantang untuk kursi
 Kongres calon dari Demokrat lainnya yang masih duduk disana yang juga 
bekas pemimpin Black Panther, Bobby L. Rush.
Rush menikmati kesetiaan yang mendalam di masyarakat kulit hitam dan mengalahkan saingannya itu dengan mudah. 
"Dia dibutakan oleh ambisinya," kata Rush, yang kelak kemudian mendukung Obama sebagai calon presiden.
Tanpa
 diduga, kursi di Senat AS dibuka pada 2004. Kali ini, Obama 
berhati-hati untuk mendapatkan persetujuan dari Jessie Jackson Jr, yang 
dianggap sudah "memiliki" kursi itu, tetapi memutuskan untuk tidak 
mendudukinya.
Angin berjalan mendukung Obama. Salah satunya, 
kandidat Demokrat John Kerry telah memilih dia untuk memberikan pidato 
pada konvensi Partai Demokrat.
Obama, dengan energi muda dan retorika yang mendayu-dayu, memenangkan pemilihan dengan 70 persen suara rakyat.
Namun
 dia tidak jatuh cinta dengan Washington. Dia urutan ke-99 dalam daftar 
senioritas, dan menjadi minoritas untuk dua tahun pertamanya. Pada 
sidang komite ia harus menunggu sampai akhir untuk berbicara.
Selama
 2006 pemilihan sela, ia orang yang paling dicari kampanyenya, dan 
berhasil mengumpulkan uang bagi banyak rekan Demokrat. Dalam hitungan 
hari, ia mengumpulkan hampir US$1 juta lewat penggalangan dana online.
Dan tak lama kemudian Obama mencalonkan diri sebagai presiden bahkan saat ia masih tersesat di koridor gedung Capitol itu.
Adalah
 Michelle Obama yang terus mempertanyakan kabar-kabur pencalonan 
presiden suaminya. Dia khawatir pada gangguan kehidupan keluarga mereka 
dan keselamatan suaminya.
Selama liburan Natal di Hawaii pada 
2006, pasangan ini mengunjungi nenek Obama, Toot, dan berjalan-jalan 
untuk berbicara tentang masa depan politik Obama.
Michelle ingin jaminan pada sejumlah poin, dan berpaling kepada suaminya.
"Kamu perlu bertanya pada diri sendiri, Mengapa kamu ingin melakukan ini. Apa yang kamu harapkan?
Suaminya
 duduk diam sejenak dan kemudian menjawab: "Ini yang saya tahu: Ketika 
saya mengangkat tangan saya dan mengambil sumpah jabatan, saya pikir 
dunia akan melihat kita berbeda Dan jutaan anak-anak di seluruh negeri 
ini akan melihat diri mereka sendiri berbeda. "
Pengumuman 
ditetapkan pada 10 Februari 2007, pada hari yang dingin sehingga Obama 
terpaksa memakai mantel dan syal untuk menahan jukut. Dia berdiri di 
depan Old State Capitol di Springfield, Illinois, di mana Abraham 
Lincoln dulu memulai karir politiknya.
37 kantor dibuka di Iowa. 
Uang datang masuk melalui internet untuk menarik donor baru. Kampanye 
itu mengesankan, mampu mengumpulkan US24 selama kuartal pertama 2007.
Satu
 anekdot mencolok dari pidato dengan cepat menjadi sensasi YouTube. Di 
dalamnya ia mengingat reli kampanye yang sunyi di Greenwood, SC, pada 
hari yang menyedihkan, ketika Edith Childs, seorang perempuan separuh 
baya berseru dalam kerumunan yang cuma sedikit itu, dan mulai berteriak 
memberi semangat, " Fires Up, Ready to Go!"
Segera orang-orang lain ikut menyanyikan seruan itu.
Kemudian,
 mondar-mandir seolah-olah sedang baris-berbaris dengan suara sedikit 
dikeraskan, Obama berteriak ke kerumunan itu "Apakah Anda bersemangat? 
Apakah Anda siap untuk pergi? Sudah Panas, Siap untuk pergi!"
Penonton
 seperti tersengat listrik, beberapa meneteskan air mata, dan Obama 
meninggalkan panggung sambil berkata, "Mari kita pergi mengubah dunia."
Dalam Pemilu 2008 itu, Obama mengalahkan pesaingnya dari Partai Republik, John McCain yang sudah berusia 72 tahun.
Ketika
 Senator Barack Obama melangkah dari pesawatnya di perjalanan akhir 
pencalonan presiden dan melangkah melompat-lompat di tangga pesawat, dia
 melakukan sesuatu yang ia tidak dilakukan pada akhir dari setiap ribuan
 kilometer perjalanan ini.
Dia memberi hormat secara militer.
Pada
 malam setelah Pemilu, ribuan pengagumnya mengalir ke Grant Park untuk 
perayaan. Selebriti, termasuk Oprah Winfrey, berkumpul di sebuah tenda 
untuk menunggu Obama.
Gemuruh terdengar dari 125.000 orang 
berkumpul di Lapangan Hutchison di Grant Park. Mereka menunggu untuk 
menonton pidato konsesi Mr McCain.
Akhirnya, tampak sedikit lelah,
 Obama berdiri di podium, melihat dari atas gelombang besar manusia dari
 semua ras berteriak, melambaikan bendera Amerika. "Sungguh sebuah 
adegan. Rakyat, rakyat."
Obama keluar dan mengatakan kepada 
kerumunan yang terus berteriak dan menari itu, "Jika ada orang di luar 
sana yang masih ragu bahwa Amerika adalah tempat di mana semua hal 
menjadi mungkin, yang masih bertanya-tanya apakah mimpi para pendiri 
kita hidup dalam waktu kita, yang masih mempertanyakan kekuatan 
demokrasi kita, malam ini adalah jawaban Anda. "
Kerumunan spontan meledak di jalan-jalan di seluruh Amerika.
Pukul
 2 pagi, sekitar 20 ribu orang bersuka ria di Times Square. Beberapa 
menunggu di kantor New York Times di Eighth Avenue, menunggu terbitan 
surat kabar hari itu untuk menandai peristiwa bersejarah. Ketika editor 
senior muncul dengan bundel edisi awal, kerumunan mengambilnya dan 
langsung ludes seperti kacang goreng.
Beberapa orang mengambil foto diri sendiri sambil memegang koran yang edisi itu hanya berjudul sederhana: OBAMA.
Orang yang menyebut dirinya anak raja Indonesia itu kini menjadi raja Amerika Serikat.
Sumber: http://berita.plasa.msn.com/internasional/beritasatu/kisah-anak-raja-indonesia 


No comments:
Post a Comment